Selasa, 04 Mei 2010

untung saya bukan dokter

Beberapa saat yang lalu adik sepupuku dari luar kota telp. Dia bilang kalau anaknya penjaga sekolahnya kecelakaan dan dirawat di RS dimana saya bekerja. U info : sepupuku tinggal di Purwodadi, aku tinggal di Solo. Jarak tempuh Purwodadi-Solo sekitar 2 jam perjalanan pakai bis umum. Karena dia belum bisa nengok, maka dia minta tolong aku u nengokin si pasien. Aku sih OK saja.

Maka, keesokkan paginya, saya tengokin si pasien yang belum saya kenal dan sekalipun belum pernah saya lihat. Sebelum nyampai ke kamarnya, saya sempat mampir ruang perawat dan nyari info apa yang terjadi pada si pasien. Ternyata, dia mengalami spinal cord injury alias patah tulang belakang. Akibatnya, dia akan jadi lumpuh dan seumur hidup harus berada di kursi roda. Sudah dioperasi, tapi masih dalam masa pemulihan, dan sudah mulai dilatih oleh fisioterapis.

Setelah cukup ngobrol sama perawat jaga, sayapun masuk ke R. perawatan. Si pasien ternyata jauh dari dugaan saya. Saya pikir dia kurus kering, bermuka pucat dan kesakitan ( ha..ha..). Tapi, ternyata, dia bertubuh atletis : tinggi, besar ...punya sixpack!!! (yg terakhir hanya dugaanku). Gak kelihatan sih.
Setelah berkenalan, menanyakan keadaannya sampai ceritera gimana kecelakaan itu terjadi, si pasien bertanya,"Kapan ya saya bisa sembuh? Berapa lama saya harus berada diatas kursi roda?". Setelah kebingungan beberapa saat, akhirnya saya cuma bilang,"Nanti aja tanya sama dokternya yang lebih tahu".
Dalam hati saya berkata,"Untung saya bukan dokter". Saya tidajk bisa membayangkan bagaimana perasaan dokter, yang tiap saat harus menghadapi situasi seperti itu. Disatu sisi dituntut untuk tidak membohongi pasiennya, tapi disisi lain tetap harus menjaga motivasi dan semangat hidup pasien.