Jumat, 30 Januari 2009

Lesson from my Mom

Hari-hari hujan begini paling menyusahkan. Bukan hanya masalah tanah becek, udara super dingin, banjir (Alhamdulillah daerah saya gak kena), namun juga masalah kecil yang menyusahkan : cucian yang gak kering.
Itu juga yang terjadi waktu saya pulang ke mudik ke rumah ibu saya. Beliau tunggal di kaki gunung Sumbing. Musim penghujan begini matahari gak pernah muncul atau kalaupun muncul cuma 1 sampai 2 jam saja. Sehingga cucian belum tentu kering dalam 5 hari. Maklum, dirumah ibu saya, segala macam pakaian, seprai, handuk dsb dicuci secara manual, dikeringkan dengan air masih menetes-netes dan mengandalkan sinar matahari. Bisa dibayangkan kerepotan yang ditimbulkannya: bau apak, baju yang menumpuk, seragam yang belum siap pakai ketika dibutuhkan.
Seandainya saja Ibu saya mau menggunakan mesin cuci, mungkin keadaannya tidak akan begitu menyedihkan. Cucian-cucian beliau akan lebih cepat kering dengan bantuan mrsin pengeringnya. Tak kurang-kurang kakak-kakak saya membujuk beliau untuk membeli mesin cuci, tapi beliau keukeuh pada pendiriannya. Omelan (he..he..) semua anaknya tidak mempan. Sampai akhirnya kita semua, anak-anaknya, berencana mo beliin mesin cuci. Ketika beliau tahu rencana kita, bukannya beliau senang,...dengan nada agak tajam beliau bilang, " Aku gak mau beli mesin cuci bukan karena masalah uang. Hanya saja kalau aku beli mesin cuci, gimana Sumini mo nyekolahkan anaknya?". Oh..Ibu, betapa.... Sumini adalah tetangga kami yang bertugas mencuci pakaian ibu. Dia gak punya siapa-siapa untuk menghidupi dirinya sendiri dan menyekolahkan anaknya di SMA.

Senin, 26 Januari 2009

Suamiku (kadang-kadang) dokter, tentara...pelaut

Tinggal sendirian diperumahan kadang-kadang menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian wanita, begitu pula bagi saya. Tahu kan..tiba-tiba suka ada salesman kompor gas yang tanpa ba bi bu langsung masuk dapur, atau penjual ABATE yang memaksa kita beli atas nama kelurahan atau dinas kesehatan, atau orang-orang dengan potongan "preman" yang maksa kita beli stiker partai tertentu, atau kalender organisasi kepemudaan tertentu. Pokoknya...ngeriii deh. Ngeri kalau kita gak mau beli trus kita diapa-kan, gitu, ngeri jangan-jangan sambil "dagang" dia juga liat-liat situasi rumah kita untuk lain kali datang lagi pas kita gak dirumah n dia bawa harta benda kita alias nyuri barang-barang kita.
Untuk menghadapi itu semua, kita mesti kreatif dan pintar menciptakan imej. Lho...emamnhmya perusahaan, atau calon caleg?? he..he..
Suatu siang, ada orang yang ketuk-ketuk pintu kenceng banget. Belum hilang kaget saya karena terbangun dari tidur, saya bukakan pintu, dan tambah kaget karena orang yang datang (2 orang bapak-bapak) langsung menggiring saya ke dapur trus langsung ngomong segala macam hal yang bertujuan agar saya beli selang pengaman, katup dll yang harganya selangit. Tapi yang menakutkan adalah bahasa tubuhnya. You know-lah, intimidating. Tapi alih-alih menunjukkan rasa takut, dengan santai saya bilang," Wah saya masak aja gak pernah pak". Dia ngejar,"Gak pernah? Lha gimana anak dan suaminya makan?". Saya bilang,"Itulah enaknya pak. Suami saya sedang perang, jadi saya gak perlu masak?" Dia ngejar lagi," Lho, emang suami ibu kerjanya apa?". Saya selalu berpendapat, kalau mo bo'ong ya sekalian aja, yang keren, gitu. Maka saya bilang,"Tentara Pak. Perwira. Jadi, meskipun suami saya gak ada, tapi anak buahnya selalu datang ngirim makanan ke saya. Enak kan pak jadi istri perwira". Langsung kedua orang itu angkat kaki. Hi..hi...
Lain hari, ketika sales ABATE ngeyel, saya bilang,"alah pak, ngapain saya beli ABATE. Lha wong suami saya itu dokter. Tiap kali dia bawa pulang ABATE". Manjur...si penjual langsung pergi.
Namun pengalaman ini yang membuat saya sangat-sangat terkejut. Ceritanya saat itu , pompa air dirumah macet, sehingga saya ngundang tukang untuk memperbaiki. Lha kok si bapak ini genit banget. Masak sambil cengar-cengir gak jelas dia bilang," Bu, kalau ditinggal suami apa gak kesepian? Kalau dia melaut itu berapa lama?". Hah....maksudnya...

Rabu, 14 Januari 2009

Pembunuhan karakter

Aku ingat betul hari itu. Jam 8 pagi dan aku sedang mengajar kelas 4. Ada sekitar 50 anak-anak usia 8-10 tahun didepanku. Kami belajar tentang "clothing" waktu itu: nama-nama pakaian (dalam bahasa Inggris), warna, dan sebagainya. Setelah menerangkan bagaimana berceritera tentang pakaian yang kita pakai saat itu, aku minta anak-anak untuk berfikir, mengingat-ingat pakaian yang mereka pakai saat itu untuk selanjutnya aku minta untuk bercerita di depan. Dengan antusias, anak-anak melakukan apa yang saya minta. Kelaspun jadi sunyi senyap. Tiba-tiba ada anak yang tunjuk jari sambil manggil namaku. Rupanya dia mo nanya. "Miss, celana dalamnya juga?" . Aku"????" Mendengar pertanyaan itu, ada dua hal yang terjadi (1) aku yang setengah mati menahan ketawa,dan (2) serempak wajah-wajah 50 anak memandangku dengan rasa ingin tahu, penasaran. Mereka semua menenti jawabanku. Melihat betapa seriusnya wajah mereka,aku jadi sadar, jika aku tadi benar-benar tertawa, maka aku sudah membunuh karakter rasa ingin tahu anak, jiwa yang berani mengutarakan pikirannya. Karena jika aku ketawa maka, (1) anak-anak akan merasa aku orang paling aneh sedunia, kok ditanya gitu malah ketawa kaya orang gila aja, atau (2) siswa yang bertanya akan merasa sangat malu karena aku tertawakan. Lain waktu,pasti dia akan merasa gak enak untuk bertanya, tidak hanya pada aku,tapi mungkin pada guru-guru lain, atau parahnya pada orang lain.
Kalau dipikir-pikir lagi, hari itu aku telah menyelamatkan jiwa bebas, yang mudah-mudahan bisa berkembang. Selamanya.

Minggu, 11 Januari 2009

Inikah wajah kita????

Saya punya murid. Saya tahu dia seorang yang religious. Itu kelihatan dari kata-katanya, tingkah lakunya dan kegiatan keagamaannya. Dalam berpendapat, dia selalu menggunakan kata-kata yang cerdas dan santun, mengutarakannya dengan jernih ndan tenang, tidak pernah meledak-ledak. Dia adalah jenis murid yang akan disukai oleh guru manapun dan apapun. Menurut saya dia adalah seseorang yang berperilakju bagus dan berakhlak bagus pula.
Sampai suatu sore, saya bertemu dan ngobrol sama dia. Saya tanya,"Jadi, apa kesibukan anda sekarang?". Dia jawab,"Yah..nyambi-nyambi jualan buku". "Buku apa?" saya tanya. Buku-buku murah Miss. Ya ada Laskar Pelangi, Ayat-ayat Cinta, Sang Pemimpi...banyaklah. Pokoknya tembakan buku-buku laris-lah". "Ha??? Bukannya itu ilegal?" saya tanya. "Iya sih, tapi banyak orang yang beli lho. Kan murah. Banyak kok mahasiswa yang beli. Kan untung saya" "Bukannya itu haram? Tidak sayang sholatnya? 40 hari sholat gak ada artinya lho" Saya bilang. "Gimana ya, saya butuh uangnya" dia bilang. Akhirnya kita ngebahas panjang lebar masalah ini, dengan dia tetap keukeuh menjalankan bisnis ini. Satu hal yang membuat saya benar-benar prihatin, ketika dia bilang,"ya.. semua orang juga melakukan hal yang sama Miss. Saya tahu ini haram, saya tahu ini ilegal ("makanya jangan sampai ketahuan yang berwajib", dia bilang), tapi saya kan dapat uang lumayan. Lagian semua orang melakukannya".
Inikah potret anak muda kita?? Apakah mereka begitu karena kita-kita yang lebih tua yang mereka contoh?? Jadi.....inikah wajah kita??? Saya jadi khawatir, jangan-jangan memang seperti itulah kita. Membutakan mata, mematikan hati hanya karena uang dan karena orang lain melakukannya.